Teror
Darah
Gemericik
air coban masih terdengar dari gerbang sekolahku, sungguh masih terdengar
jelas. Sekolah ku kali ini yang jauh dari sebuah keramain kendaraan bermesin
dan pasti jarang banget polusi hampir gak ada. Udara yang masih sangat sejuk
dan bersih, sungguh lega banget terasa hidup di desa ini. Desa Srigading jawa
timur, yah ... di sini lah aq tinggal sekarang. Desa ini terletak di balik
gunung yang gak terlalu tinggi dan sudah tidak aktiv lagi. Sepanjang jalan
masih belum ada aspal dan masih banyak lahan kosong, gak seperti di kota ku
dulu yang padat penduduk dan ramai kendaraan bermesin. Aku tinggal bersama
nenek dari ibuku di desa yang sejuk ini. Aku dipanggil Echa di daerah nenek,
dan itulah sebutanku di sini. Aku pindah sekolah sejak aku SMP kelas dua. Aku
memulai kehidupan baru di desa ini dan teman baru, semua serba baru dan aku
memulai adaptasi baru.
“8
A”. Yah aku berada di kelas 8A, telah ditentukan pihak sekolah, masih terasa
asing aku berada di sekolah itu. Aku duduk di bangku nomor dua dari depan, dan
teman sebangkuku namanya Reisya. Dia bertubuh agak gendut tapi terlihat manis
banget dan gak membosankan. Perkenalanku dengan Reisya terlalu asyik sampai
lupa kalau sudah ada guru yang berdiri di depan whiteboard. Tersentak
aku ketika pak guru memanggilku “Echa, ayo maju, perkenalkan dirimu di depan
kelas !”. ketika kakiku berjalan ke depan kelas dan mulutku mulai terbuka untuk
mengucapkan sepatah kata sapaan untuk teman-teman baruku, aku melihat ada
seorang perempuan seumuran dengan aku di belakang sendiri dengan muka yang
pucat seperti tak bernyawa. Tingkahku terdiam dan mulutku mulai kaku, mataku
fokus pada perempuan itu. Sekejap ku lihat dia sudah tak ada dan entah kamana.
Pak guru langsung meyuruhku duduk kembali.